Selasa, 27 Mei 2014

Artikel Cacing

KERAPATAN DAN POLA DISTRIBUSI CACING DARI KELAS OLIGOCHAETA PADA HUTAN GALAM DI KAWASAN DESA TABING RIMBAH KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA
Dwi Bagus Kariansyah, Dharmono, Kaspul

ABSTRAK

Cacing dari kelas Oligochaeta kebanyakan di contohkan dengan jenis cacing tanah. Hewan ini bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita, he­wan ini tampak begitu lunak dan bagi sebagian orang dianggap sangat men­jijikkan. Akan tetapi, hewan ini mempu­nyai potensi yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Perannya adalah menyuburkan tanah, sebagai obat dan juga alat kosmetik. Hutan galam merupakan hutan yang banyak terdapat di daerah rawa Gambut. Seperti di Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Barito Kuala, Banjar, Tanah Laut, Tapin dan Kota Banjarbaru. Hutan galam didominasi oleh jenis kayu Galam (Melaleuca cajuputi). Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala merupakan daerah yang memiliki Hutan Galam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan dan pola distribusi cacing dari Kelas Oligochaeta pada Hutan Galam di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan jenis penelitian deskriptif dan metode observasi. Teknik pengambilan sampel secara sistematis pada Hutan Galam dengan luas 4500m x 500m dan membagi dalam 3 stasiun dengan ukuran masing-masing stasiun 500m x 500m. Pada setiap stasiun dibuat 5 kuadran transek berukuran 100m x 100m. Pada setiap kuadran transek diambil titik sebanyak 8 titik secara sistematis. Pada titik dibuat plot dengan luas 30cm x 30cm x 30cm. Jumlah total titik yaitu 120 titik. Hasil penelitian terhadap cacing dari Kelas Oligochaeta didapatkan 2 jenis yaitu : Megascolex sp dan Pheretima capensis. Kerapatan populasi tertinggi pada daerah penelitian dimiliki oleh Megascolex sp dengan nilai 15,09 ind/m2 dengan kerapatan relatif 65,21%. Sementara kerapatan terendah dimiliki oleh Pheretima capensis dengan nilai 8,05 ind/m2 dengan kerapatan relatif 34,79%. Pola distribusi dari kedua jenis cacing yang ditemukan pada daerah penelitian ini adalah mengelompok.

Kata kunci : kerapatan, pola distribusi, cacing dari kelas Oligochaeta, hutan galam

I.         PENDAHULUAN
Cacing dari kelas Oligochaeta kebanyakan di contohkan dengan jenis cacing tanah, hewan ini bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita, he­wan ini tampak begitu lunak dan bagi sebagian orang dianggap sangat men­jijikan. Menurut Ciptanto dan Paramita (2011) cacing adalah makhluk hidup yang memberikan multimanfaat bagi kehidupan manusia. Tidak hanya berfungsi sebagai pengurai yang menentukan kesuburan tanah, namun juga bermanfaat dalam banyak hal antara lain bahan pakan ikan dan ternak, bahan industri kosmetik, obat-obatan dan bahan pangan.
Menurut Budiarti & Pangkulan (1993), cacing kelas Oligochaeta dimasukkan dalam Filum Annelida yang berarti cincin, karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen atau cincin-cincin. Tubuh cacing mudah beradaptasi dengan lingkungan hidupnya sebab struktur organ-organ yang ia miliki sangat sederhana. Untuk pergerakannya, cacing tanah menggunakan otot badannya yang panjang dan tebal yang melingkari tubuhnya.
Menurut Hanafiah dkk. (2003) secara sistematik cacing bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-segmen (bagian-bagian), diselaputi oleh epidermis (kulit) berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis dan setae (lapisan daging semu bawah kulit), kecuali pada dua segmen pertama (bagian mulut), bersifat hermaprodit (berkelamin ganda) dengan gonads (peranti kelamin) seadanya pada segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi tertentu akan membengkak membentuk klitelum (tabung peranakan atau rahim), tempat mengeluarkan kokon (selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin (kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung serupa cacing dewasa.
Cacing sebenarnya sangat bermanfaat bagi masyarakat terutama dalam bidang pertanian. Menurut Harun (2009) lahan pertanian yang mengandung cacing pada umumnya akan lebih subur karena tanah yang bercampur dengan kotoran cacing tanah sudah siap untuk diserap oleh akar tanaman. Ca­cing yang ada di dalam tanah akan mencampurkan bahan organik pa­sir ataupun bahan antara lapisan atas dan bawah. Aktivitas ini juga menye­babkan bahan organik akan tercampur lebih merata. Agustinus (2009) juga menyatakan bahwa lahan yang banyak mengandung cacing akan menjadi subur, sebab kotoran cacing yang bercampur dengan tanah telah siap untuk diserap akar tumbuh-tumbuhan. Cacing juga dapat meningkatkan daya serap air permukaan. Lubang-lubang yang dibuat oleh cacing tanah meningkatkan konsentrasi udara dalam tanah. Di samping itu pada saat musim hujan lubang tersebut akan melipatgandakan kemampuan tanah menyerap air. Secara singkat dapat dikatakan cacing tanah berperan memperbaiki dan mempertahankan struktur tanah agar tetap gembur.
Cacing kelas Oligochaeta merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang sehat, baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Menurut Hanafiah dkk. (2003) secara umum peran cacing telah terbukti baik sebagai biomelioran (jasad hayati penyubur tanah dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan unsur hara, dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, struktur aerasi, formasi agregat drainase, dan lain-lain sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah.
Penelitian tentang cacing tanah di Kalimantan Selatan pernah dilakukan oleh Wahyudi (1999) melaporkan kerapatan dan pola dispersi populasi cacing tanah di Gunung Mandiangin Kabupaten Banjar dan mendapatkan 3 jenis cacing yaitu; Pontoscolex corethrurus, Pheretima capensis, Pheretima javanica. Sahirin (2004) melaporkan keanekaragaman cacing tanah di Pulau Bakut Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala dan mendapatkan 3 jenis cacing yaitu; Pontoscolex corethrurus, Pheretima capensis, Pheretima javanica., sedangkan Kusmiati (2010) melaporkan jenis dan kerapatan populasi cacing tanah (kelas Oligochaeta) pada perkebunan Jeruk di kawasan Agropolitan Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Pada penelitian Kusmiati tersebut ditemukan 4 jenis cacing tanah yaitu Pontoscolex corethrurus, Pheretima capensis, Pheretima javanica dan Megascolex sp.
 Berdasarkan tiga penelitian yang telah dilakukan, tempat yang dijadikan penelitian adalah di daerah pegunungan, di dataran rendah yaitu tepatnya di Pulau Bakut dan di wilayah perkebunan khususnya perkebunan jeruk. Belum ada yang melakukan penelitian di kawasan Hutan khususnya Hutan Galam. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui pola distribusi dan kerapatan cacing tanah pada daerah hutan galam di kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5 - 4,0. Hal itu tentunya menjadikan tanah sangat miskin hara (Anonim, 2011). Menurut (Indriyanto, 2005 dalam Anonim, 2011), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan ­bahan tanaman yang telah mati.
Menurut Dharmono (2007) tumbuhan galam dijadikan tumbuhan dalam reboisasi karena kemampuannya yang dapat hidup pada kondisi tanah yang kurang subur, bersifat asam, rendah oksigen dan tanah tergenang dari pada tumbuhan asli lainnya. Selain itu, tanaman tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi, yaitu dapat digunakan sebagai bahan dasar obat tradisional. Sisi negatifnya, tumbuhan gelam menghasilkan berbagai metabolit sekunder yang dapat mengganggu komposisi vegetasi hutan gambut sebelumnya, seperti flavonoid yang menghambat proses oksidasi tanah dan meningkatkan akumulasi garam (NaCl), Alkaloid dalam kondisi kurang oksigen akan menekan absorbsi unsur K+ dan meningkatkan keasaman tanah.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dikatakan bahwa daerah hutan galam mempunyai tanah yang cenderung memiliki pH yang asam akibat hasil dari metabolit sekunder tumbuhan galam. Menurut Ciptanto dan Paramita (2011) derajat keasaman (pH) juga berpengaruh pada kehidupan cacing. Cacing kelas Oligochaeta menghendaki pH yang cenderung netral yaitu 6 - 7,5. Derajat keasaman tanah merupakan faktor yang sangat penting untuk pertumbuhan cacing. Secara tidak langsumg faktor derajat keasaman ini akan mempengaruhi populasi dari cacing kelas Oligochaeta di daerah ini. Karena mempengaruhi populasi dari cacing kelas Oligochaeta, maka kerapatan serta populasi dari populasi cacing kelas Oligochaeta ini akan terpengaruh dengan keadaan hutan galam.
Kabupaten Barito Kuala merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan yang sebagian besar wilayahnya berupa dataran rendah dengan lingkungan alam rawa gambut yang luas yang terletak di sepanjang Sungai Barito yang memiliki keanekeragaman tumbuhan dan hewan. Salah satu daerah yang ada di Kabupaten Barito Kuala adalah Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana yang mempunyai wilayah Hutan Galam.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang bagaimana pola distribusi dan kerapatan populasi cacing dari kelas Oligochaeta pada Hutan Galam di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
II.      METODE PENELITIAN
          Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan jenis penelitian deskriptif dan metode observasi untuk mengumpulkan data. Menurut Fathoni (2006), penelitian lapangan adalah suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau di lokasi penelitian, suatu tempat yang dipilih sebagai lokasi untuk menyelidiki gejala obyektif yang terjadi di lokasi tersebut. Jenis penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bermaksud untuk mengadakan pemeriksaan dan pengukuran terhadap gejala-gejala tertentu. Untuk definisi metode observasi, selanjutnya Fathoni (2006) mendefinisikannya sebagai metode pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu pengamatan dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku obyek sasaran.
          Teknik pengambilan sampel jenis cacing dengan cara menggali pada daerah kuadran yang ditetapkan dengan ukuran 4500 m x 500 m. Pada daerah tersebut di bagi daerah menjadi 3 stasiun pengamatan dalam bentuk kuadran berukuran 500 m x 500 m yang di tiap stasiun dibuat 5 daerah transek secara sistematis dengan luas 100 m x 100 m. Pada setiap daerah transek diambil 8 titik. Pada setiap titik dibuat plot dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm.
          Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Penelitian dilakukan di beberapa stasiun penggambilan sampel dengan cara menggali tanah.
          Secara keseluruhan waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 6 bulan yang meliputi masa persiapan (survey lokasi penelitian dan penyusunan proposal), pelaksanaan penelitian, pengumpulan data, analisis data sampai penyusunan skripsi. Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober 2012.
          Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis cacing dari kelas Oligochaeta yang terdapat di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
          Sampel penelitian adalah semua jenis cacing dari kelas Oligochaeta yang didapatkan dalam Kawasan hutan galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala yang ditemukan dengan menggali tanah menggunakan alat penggali serta kuadran modifikasi berukuran 30x30x30 cm.

III.   HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Cacing Dari Kelas Oligochaeta yang ditemukan
Berdasarkan hasil perhitungan di lapangan didapatkan jumlah dari tiap-tiap cacing tanah yang dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah anggota tiap jenis cacing tanah yang ditemukan pada seluruh stasiun pengamatan di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala
No.
Nama Jenis
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Jumlah Setiap Jenis
1.
Megascolex sp
Pheretima capensis
70
37
55
34
38
16
163
87
Jumlah
107
89
54
250

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian Wahyudi (1999) di Gunung Mandiangin Kabupaten Banjar dan juga Sahirin (2004) di Pulau Bakut Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala didapatkan tiga jenis cacing tanah yaitu Pontoscolex corethrurus, Pheretima capensis, dan Pheretima javanica. Sementara dari penelitian Kusmiati (2010) menemukan 4 jenis cacing tanah yaitu Megascolex sp, Pontoscolex corethrurus, Pheretima capensis, dan Pheretima javanica. Dari penelitian Wahyudi (1999) dan Sahirin (2004) tersebut sama-sama didapatkan bahwa jenis yang paling banyak ditemukan adalah Pontoscolex corethrurus sedangkan pada penelitian dari Kusmiati (2010) jenis cacing tanah yang paling banyak ditemukan adalah Megascolex sp..
Hasil penelitian yang dilakukan pada hutan galam di Kawasan Desa Tabing Rimbah didapatkan jenis yang paling banyak ditemukan adalah Megascolex sp. Menurut Muller (2005), Megascolex sp bersifat epigeik, fleksibel, dapat ditemukan aktif hingga kedalaman 20 cm atau di dekat permukaan di bawah serasah atau bahan organik lainnya membusuk, dan dapat memanfaatkan bahan organik berkualitas rendah. Cacing ini memakan serasah di permukaan tanah dan tidak mencerna tanah (Palungkun, 2010). Megascolex sp tersebut mengambil bahan-bahan organik maupun serasah-serasah di permukaan tanah untuk dijadikan sebagai bahan makanan yang salah satunya adalah serasah daun.
Megascolex sp merupakan cacing jenis epigeik di mana merupakan cacing tanah berukuran kecil yang aktif di permukaan tanah dan pada umumnya tidak menghasilkan terowongan (Sofyan, 2010). Menurut Hanafiah dkk. (2003) cacing jenis epigeik mempunyai otot penggali yang dapat mengecil ketika menggali tanah, kemudian rata-rata mempunyai bobot yang ringan sekitar 10-30 mg, mempunyai kepekaan cahaya yang sedikit dan tanpa adanya regenerasi. Kemudian untuk tingkat kesuburan dalam hal reproduksinya tinggi, ketahanan terhadap lingkungan yang buruk juga tinggi, dengan kebutuhan makanan yang sedang dengan pergerakan isi perut yang lambat. Cacing jenis ini juga hidup pada kedalaman kurang dari 8 cm.
Jenis yang paling sedikit ditemukan adalah Pheretima capensis. Diduga sedikitnya jumlah jenis ini karena kurangnya adaptasi terhadap lingkungan di kawasan hutan tersebut. Hal ini berkaitan dengan sifatnya yang endogeik di mana adalah kelompok cacing tanah yang hidup dekat permukaan tanah dan membentuk terowongan horizontal. Menurut Palungkun (2010), cacing ini memakan tanah dan bahan organik, serta akar-akar mati. Menurut Hanafiah dkk. (2003) cacing jenis endogeik mempunyai otot penggali yang dapat mengembang ketika menggali tanah, kemudian rata-rata mempunyai bobot yang ringan dan ada juga yang berat, mempunyai kepekaan cahaya yang kuat dan adanya regenerasi. Kemudian untuk tingkat kesuburannya terbatas, ketahanan terhadap lingkungan juga sedang, dengan kebutuhan makanan yang sedikit dengan pergerakan isi perut yang cepat.
Sedikitnya jumlah cacing tanah yang didapatkan pada penelitian ini pada stasiun ketiga dibandingkan pada stasiun pertama dan kedua diduga karena adanya faktor luar yaitu serasah daun galam yang dihasilkan oleh tumbuhan galam. Hal ini karena tumbuhan galam pada stasiun ketiga lebih lebat dan padat sehingga pastinya berpengaruh terhadap produksi serasah yang dihasilkan daripada . Adanya perbedaan jumlah produksi serasah yang dihasilkan diduga berpengaruh terhadap populasi cacing tanah. Hal ini disebabkan serasah yang dihasilkan pada tumbuhan galam menghasilkan metabolit sekunder dalam hal ini flavanoid dan minyak atsiri. Daun segar dan daun kering Melaleuca cajuputi P. mengandung flavonoid dan minyak atsiri (sineol, 1-limonena dan asam betulinat) (Anonim, 1980 dalam Dharmono 2007)).
Senyawa metabolit sekunder berpengaruh terhadap tanah. Misalnya flavonoid berperan menghambat proses oksidasi tanah dan meningkatkan akumulasi garam (NaCl). Alkaloid dalam kondisi kurang oksigen akan menekan absorbsi unsur K+ dan meningkatkan keasaman tanah. Ionisasi hidrogen fenolik senyawa fenol pada tanah menentukan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah dan menyebabkan berkurangnya kelarutan unsur-unsur hara tertentu (Fitter & Hay, 1981).
Menurut Harbone (1996), minyak atsiri berperan sebagai antibiotik, menghambat pertumbuhan tumbuhan pesaing dan mengikat gugus fosfat. Fenol berpengaruh terhadap kondisi keasaman, Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah dan menyebabkan berkurangnya unsur-unsur hara tertentu akibat pencucian. Minyak atsiri secara umum terdiri atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O), kadang-kadang juga terdiri atas nitrogen (N) dan belerang (S). Minyak atsiri mengandung resin dan lilin dalam jumlah kecil yang merupakan komponen yang tidak dapat menguap. Serasah yang memiliki kandungan bahan atsiri ternyata memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan bagi kesuburan tanah, yaitu terjadi perubahan pH, kandungan mineral, dan sifat fisik tanah, karena adanya senyawa-senyawa metabolit sekunder (flavonoid dan minyak atsiri) yang bersifat racun. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Dharmono (2000) pada lahan gambut di Kalimantan Selatan, dijelaskan bahwa serasah galam yang mengandung flavonoid dan minyak atsiri menyebabkan lambatnya penguraian serasah galam.
Hal ini semakin menegaskan bahwa tanah pada hutan galam tersebut mengandung metabolit sekunder yaitu flavanoid dan minyak atsiri dan diduga cacing jenis Megascolex sp yang dapat mentoleransi dampak flavanoid dan minyak atsiri tersebut.
Kemampuan cacing tanah untuk beradaptasi dengan lingkungannya merupakan salah satu faktor penyelamat yang melestarikan suatu jenis cacing tanah dari seleksi alamiah (Hanafiah, dkk, 2003). Oleh karena itu banyak sedikitnya jenis cacing yang ditemukan tergantung apakah jenis cacing tersebut dapat beradaptasi dengan baik.
Hasil penelitian di Hutan Galam Desa Tabing Rimbah dan tiga penelitian sebelumnya yaitu penelitian Wahyudi (1999) di Gunung Mandiangin Kabupaten Banjar, Sahirin (2004) di Pulau Bakut Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala dan juga Kusmiati (2010) di perkebunan jeruk kawasan Agropolitan, ternyata didapatkan tiga jenis cacing tanah yang sama yaitu Pontoscolex corethrurus, Pheretima capensis, dan Pheretima javanica. Namun, pada penelitian ini, peneliti menemukan 2 jenis cacing tanah yaitu Megascolex sp dan Pheretima capensis. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa jenis-jenis cacing tanah yang ditemukan di sebagian kecil Kalimantan Selatan antara lain jenis-jenis dari Pontoscolex corethrurus, Pheretima capensis, Pheretima javanica, dan juga satu jenis cacing yang tidak ditemukan pada penelitian sebelumnya yaitu Megascolex sp.
Tidak ditemukannya Megascolex sp. pada penelitian sebelumnya diduga karena perbedaan tempat penelitian dalam pengambilan sampel. Pada penelitian Wahyudi (1999) dilakukan pada tempat daerah tinggi yaitu di gunung mandiangin. Sedangkan pada penelitian Sahirin (2004) dilakukan pada daerah Pulau Bakut.  Pada penelitian Kusmiati (2010) dan penelitian ini mendapatkan cacing jenis Megascolex sp. diduga karena dilakukan pada tempat penelitian yang hampir berdekatan, yaitu pada daerah Kecamatan Mandastana.

Kerapatan Populasi Cacing dari Kelas Oligochaeta
Hasil penelitian yang dilakukan pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala, didapatkan dua jenis cacing tanah dari Kelas Oligochaeta dengan nilai kerapatan yang berbeda-beda. Hasil perhitungan kerapatan (K) dari pengambilan sampel pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan tabel 3 dibawah ini.
Tabel 2. Kerapatan populasi cacing dari kelas Oligochaeta Pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan  Mandastana Kabupaten Barito Kuala
No
Nama Jenis
K (ind/m2)
KR (%)
1
Megascolex sp
15,09
65,21
2
Pheretima capensis
8,05
34,79


23,14
100,00

Tabel 3.  Kerapatan populasi cacing dari kelas Oligochaeta pada setiap stasiun pengamatan Pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan  Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
No
Nama Jenis
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
K
(ind/m2)
KR
(%)
K
(ind/m2)
KR
(%)
K
(ind/m2)
KR
(%)
1
Megascolex sp
19,44
65,41
16,28
63,18
10,56
70,40
2
Pheretima capensis
10,28
34,59
9,44
36,82
4,44
29,60


29,72
100,00
25,72
100,00
15,00
100,00

Hasil penelitian yang dilakukan pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala, didapatkan dua jenis cacing tanah dari Kelas Oligochaeta dengan nilai kerapatan yang berbeda-beda pada setiap stasiun. Namun untuk pola distribusi dari kedua jenis cacing dari kelas Oligochaeta yang memiliki pola distribusi yang sama.
Hasil perhitungan kerapatan (K) dari pengambilan sampel pada stasiun 1 tersebut didapatkan untuk jenis Megascolex sp. nilai kerapatannya adalah 19,44 ind/m2 sementara untuk jenis Pheretima capensis nilai kerapatannya adalah 10,28 ind/m2. Stasiun ini berdekatan dengan jalan umum yang sering digunakan warga. Kondisi Hutan Galam pada stasiun ini sudah terjamah oleh manusia, banyak pohon galam yang sudah dimanfaatkan masyarakat disana. Pada stasiun 2 didapatkan hasil perhitungan untuk jenis Megascolex sp. nilai kerapatannya adalah 16,28 ind/m2 sementara untuk jenis Pheretima capensis nilai kerapatannya adalah 9,44 ind/m2. Wilayah pada stasiun ini sudah memasuki hutan galam yang lumayan lebat dengan tumbuhan galam. Namun pada stasiun ini tumbuhan galam sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar akan tetapi intensitasnya tidak sebanyak pada stasiun 1. Sementara pada stasiun 3 didapatkan hasil perhitungan untuk jenis Megascolex sp. nilai kerapatannya adalah 10,56 ind/m2 sementara untuk jenis Pheretima capensis nilai kerapatannya adalah 4,44 ind/m2. Kondisi hutan galam pada stasiun ini masih sangat alami. Ini terlihat dari lebatnya tumbuhan galam yang tumbuh dan tidak ada aktifitas penebangan ataupun bekas penebangan oleh warga sekitar.
Banyak sedikitnya jenis cacing dari kelas Oligochaeta yang ada disana diduga karena cacing dapat bertoleransi dengan kondisi hutan yang berbeda-beda pada setiap stasiun yang ada disana. Setiap stasiun mempunyai karakteristik masing-masing seperti yang telah dipaparkan diatas.
Hasil tiga penelitian sebelumnya kerapatan yang tertinggi dimiliki oleh Pontoscolex corethrurus dengan nilai kerapatan untuk penelitian Sahirin (2004) sebesar 29,38 ind/m2, dan untuk penelitian Wahyudi (1998) sebesar 11,0 ind/m2. Sementara kerapatan terendah sama-sama dimiliki oleh Pheretima javanica dengan nilai 0,49 ind/m2 dan 2,4 ind/m2. Untuk hasil penelitian dari Kusmiati (2010) nilai kerapatan yang paling tinggi dimiliki oleh Megascolex sp dengan nilai 4,19 ind/m2 sedangkan nilai kerapatan yang terendah dimiliki oleh Pheretima javanica dengan nilai kerapatan 0,54 ind/m2.
Nilai kerapatan pada hasil penelitian ini didapatkan untuk kerapatan tertinggi pada Hutan Galam dimiliki oleh Megascolex sp yang ada pada stasiun 1 dengan nilai kerapatan 19,44 ind/m2. Kerapatan terendah pada Hutan Galam dimiliki oleh Pheretima capensis yang ada pada stasiun 3 dengan nilai 4,44 ind/m2.
Banyak sedikitnya populasi cacing tanah diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan abiotik. Budiarti & Pangkulan (1993) mengatakan bahwa suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan cacing tanah dan penetasan telur adalah 150C – 250C. Suhu yang lebih tinggi dari 250C masih baik, asal ada naungan yang cukup dan kelembaban optimal. Bila suhu terlalu tinggi atau terlalu rendah, semua proses fisiologis, seperti pernapasan, pertumbuhan, perkembangbiakan, dan metabolisme terganggu. Kondisi suhu yang demikian diduga turut berdampak terhadap kerapatan dan juga keanekaragaman cacing tanah, karena suhu di atas rentang yang diperlukan oleh cacing tanah untuk hidup dengan baik.
Menurut Anonim (2009) temperatur sangat mempengaruhi aktivitas pertumbuhan, metabolisme, respirasi dan reproduksi cacing tanah. Setiap jenis cacing tanah memiliki temperatur yang berbeda untuk kelangsungan hidupnya. Periode pertumbuhan mulai dari penetasan sampai pada dewasa juga tergantung pada temperatur. Untuk suhu pada hutan galam secara keseluruhan didapatkan kisaran antara 260C–280C. Hal ini mengindikasikan bahwa suhu pada Hutan Galam tersebut kurang optimal untuk kehidupan cacing tanah.
Kelembaban mempunyai peranan yang sangat penting di dalam mendeteksi keaktifan cacing tanah, karena hal ini berhubungan dengan struktur fisik dan proses kehidupan cacing tanah yang serupa dengan hewan perairan dibandingkan dengan hewan terrestrial (Brata, 2009). Untuk kelembaban tanah pada Hutan Galam didapatkan hasil pengukuran pada stasiun 1 berkisar antara 80% – 90%. Pada stasiun 2 berkisar antara 70% – 90%. Sementara pada stasiun 3 berkisar antara 70% – 90%. Kelembaban tanah sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara dan berbanding searah, apabila kelembaban udara tinggi maka kelembaban tanah juga tinggi (Jumar, 2003). Hanafiah dkk, (2003) mengatakan sekitar 75%–90% bobot cacing tanah hidup adalah air sehingga dehidrasi (pengeringan) merupakan hal yang sangat menentukan bagi cacing tanah. Menurut Odum (1998), kelembaban memberikan efek membatasi terhadap organisme apabila dalam keadaan ekstrim, yakni apabila keadaan sangat rendah atau tinggi. Secara alamiah, cacing akan bergerak ke tempat yang lebih basah atau diam jika terjadi kekeringan tanah. Dari hasil pengukuran yang didapat ternyata tingkat kelembaban tanah pada hutan Galam pada kawasan Desa Tabing Rimbah cukup optimal untuk kehidupan cacing tanah sehingga kelembaban tanah diduga tidak turut menentukan kerapatan dari cacing tanah pada hutan Galam di kawasan Desa Tabing Rimbah. Kelembaban yang cukup tinggi pada hutan Galam ini diduga akibat adanya aliran sungai yang melintasi kawasan pengambilan sampel, sehingga menyebabkan kelembaban tanah tinggi.
 pH tanah merupakan faktor pembatas distribusi, jumlah, dan jenis cacing tanah (Brata, 2009). Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 7,0. Menurut Anonim (2009), cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah. pH merupakan faktor pembatas dalam penyebaran cacing tanah, dan setiap jenis cacing tanah memiliki tingkat preferensi yang berbeda terhadap pH media. Cacing tanah lebih banyak terdapat pada tanah yang mempunyai tekstur lempung sedang ataupun lempung kasar dibandingkan dengan tanah yang liat berat ataupun pasir kasar dan tanah alluvial (Anonim, 2009). Untuk pH tanah pada Hutan Galam didapatkan hasil pada stasiun 1 berkisar antara 5,0–5,3, pada stasiun 2 berkisar antara 4,6-5,1 sementara pada stasiun 3 didapatkan kisaran antara 4,4-4,8.
Faktor yang menyebabkan semakin rendahnya pH tanah pada setiap stasiun diduga karena kondisi lingkungan dari setiap stasiun yang berbeda-beda. Dharmono (2000) mengatakan tumbuhan galam yang tumbuh  pada lahan gambut dapat menyebabkan pH tanah yang rendah. Serasah galam yang mengandung metabolit sekunder juga mempengaruhi keasaman tanah. Pada stasiun 1 misalnya, tumbuhan galam pada daerah ini kurang begitu lebat karena sudah dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk diperdagangkan, serta jarak stasiun 1 ini yang sangat berdekatan dengan jalan sehingga memudahkan warga untuk mencapai tempt ini. Sementara kondisi hutan galam pada stasiun 2 juga sudah terpengaruh oleh penebangaan dari warga yang memanfaatkan tumbuhan ini untuk diperdagangkan, namun intensitas penebangannya tidak sebanyak pada stasiun 1, ini dapat dilihat pada waktu pengamatan kondisi hutan galam yang lumayan lebat. Berbeda dengan kondisi hutan galam pada stasiun 3 yang sangat lebat dan belum terjamah oleh tangan manusia. Tumbuhan galam yang tumbuh pada lahan ini sangat rapat. Hal ini mengindikasikan bahwa pH tanah pada hutan Galam tersebut diduga kurang optimal bagi kehidupan cacing tanah yang lebih cenderung menyukai kondisi pH tanah yang netral.
Distribusi cacing tanah sangat dipengaruhi oleh bahan organik di dalam tanah. Kotoran hewan dan pelapukan daun-daunan merupakan sumber bahan organik yang biasanya baik untuk pembiakan cacing tanah. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan cacing tanah memerlukan bahan makanan dari tanah, agar dapat bertahan untuk hidup. Jenis dan jumlah makanan yang tersedia tidak saja mempengaruhi besarnya populasi cacing tanah, tetapi juga jenis yang ada, kecepatan tumbuh serta kesuburan dari cacing tanah. Dengan demikian pH tanah diduga turut menentukan kerapatan cacing tanah di kawasan Hutan Galam yang rendah. Bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suhu dan pH tanah di Kawasan Hutan Galam tidak cukup baik untuk pertumbuhan cacing. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jenis cacing yang ditemukan dan kerapatan dari masing-masing jenis cacing yang sangat jauh berbeda. Sementara itu dari beberapa faktor lingkungan yang berhasil diamati (suhu, kelembaban tanah, dan pH tanah) yang mendukung kehidupan cacing tanah di kawasan hutan galam hanyalah kelembaban tanah yang secara keseluruhan berkisar antara 70%-90%. Menurut Anonim (2010) pada umumnya makin banyak curah hujan maka keasaman tanah makin tinggi atau pH tanah makin rendah, karena banyak unsur-unsur logam alkali tanah yang terlarut misalnya, Na, Ca, Mg, dan K, dan sebaliknya makin rendah curah hujan maka makin rendah tingkat keasaman tanah dan makin tinggi pH tanah.
Keasaman tanah pada daerah ini juga diduga akibat adanya kandungan Fe dan Al yang menyebabkan tanah menjadi asam. Menurut Darmono (1995) Pada saat unsur logam melarut dalam tanah yang lebih dalam, akan terjadi akumulasi alumunium (Al). Hal ini terutama terjadi pada pH 5. Daya larut Al ini sangat cepat dan melebihi kapasitas buffer dari mineral silikat yang akan mengikatnya sebagai alumunium silikat, sehingga terjadi kelebihan unsur Al yang dapat menyababkan ekosistem hutan menjadi tidak stabil. Menurut Dharmono (2000) tanaman galam yang tumbuh pada lahan gambut memberikan dampak kandungan Fe dan Al semakin meningkat pada tanah. Hal ini dapat menyebabkan tanah menjadi beracun.
Berdasarkan tabel analisis contoh tanah, kandungan C organik pada tanah di kawasan hutan galam adalah 4,75 %. Menurut Lakitan (2011) menerangkan bahwa zona kecukupan untuk unsur karbon (C) adalah 45 %. Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat dikatakan tanah di hutan galam mengalami kekurangan unsur hara C. Noor (2004) menerangkan bahwa karbondioksida (CO2) umumnya dihasilkan dari perombakan bahan organik di rawa. Akumulasi CO2 terjadi pada tanah tergenang yang kaya bahan organik dan besi. Bahan organik berupa unsur C mempunyai peranan yang sangat penting dalam tanah terutama pengaruhnya terhadap kesuburan tanah. Lakitan (2011) memaparkan bahwa unsur C  merupakan salah satu unsur makro bersama dengan unsur makro lainnya meliputi unsur H, O dan N. Di alam unsur ini tersedia dalam bentuk CO2.
Diduga terjadi hubungan interaksi antara kedua jenis cacing yang ditemukan. Interaksi yang terjadi merupakan kompetisi dalam mencari bahan makanan yang berupa serasah daun yang bukan dari tumbuhan galam. Cacing tidak memakan serasah galam karena serasah galam tersebut banyak mengandung metabolit sekunder berupa minyak atsiri dan flavanoid yang mempunyai sifat asam (Dharmono, 2000). Sedangkan menurut Budiarti & Pangkulan (1993), bila makanan terlalu asam dan banyak aktifitas bakteri di dalamnya, maka hal ini akan mengakibatkan pembengkakan pada tembolok cacing dan dapat menyebabkan kematian pada cacing. Dapat dikatakan cacing yang ditemukan pada daerah penelitian tidak memakan serasah Galam, namun memakan serasah tumbuhan lain yang ada disana, seperti serasah daun akasia dan serasah daun karamunting ataupun serasah semak yang lain.
Dilihat dari kondisi pada tempat penelitian yang lebih didominasi tumbuhan galam dan sedikit sekali tumbuhan lain yang dapat hidup. sehingga sangat sedikit serasah tumbuhan lain yang tersedia yang merupakan makanan dari cacing ini. Diduga terjadi kompetisi antara Megascolex sp dan Pheretima capensis dalam hal pencarian makanan yang sangat sedikit terdapat pada daerah ini.

Pola Distribusi Populasi Cacing dari Kelas Oligochaeta
Hasil penelitian yang dilakukan pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala, didapatkan dua jenis cacing tanah dari Kelas Oligochaeta dengan pola distibusi yang berbeda-beda. Hasil perhitungan Indeks Morista (Is) dari pengambilan sampel pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dan tabel 5 dibawah ini.
Tabel 4.  Pola Distribusi populasi cacing dari kelas Oligochaeta Pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan  Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
No
Nama Jenis
Nilai Indeks Morista (Is)
1
Megascolex sp
1,74
2
Pheretima capensis
2,54

Tabel 5.  Pola Distribusi populasi cacing dari kelas Oligochaeta pada setiap stasiun pengamatan Pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan  Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
No
Nama Jenis
Nilai Indeks Morista (IS)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
1
Megascolex sp
1,64
1,61
1,78
2
Pheretima capensis
2,22
2,18
3,60

Pola ditribusi dari kedua jenis cacing dari Kelas Oligochaeta pada setiap stasiun pengamatan di hutan Galam pada kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito kuala sama-sama memiliki pola distribusi mengelompok yaitu nilai indeks morista yang didapat lebih dari 1 atau IS > 1.
Dari hasil perhitungan indeks morista (Is) untuk mengetahui pola distribusi dari cacing yang ditemukan pada stasiun 1 didapatkan hasil untuk jenis Megascolex sp. memiliki Is = 1,64 sementara untuk jenis Pheretima capensis Is = 2,22. Pada stasiun 2 didapatkan hasil untuk jenis Megascolex sp. memiliki Is = 1,61 sementara untuk jenis Pheretima capensis Is = 2,18. pada stasiun 3  didapatkan hasil untuk jenis Megascolex sp. memiliki Is = 1,78 sementara untuk jenis Pheretima capensis Is = 3,60. Jadi dari kedua jenis cacing yang ditemukan di tiga stasiun berbeda dapat dikatakan kedua jenis cacing ini memiliki nilai Is yang lebih dari 1 (Is > 1). Menurut Michael (1994) jika suatu makhluk hidup memiliki Indeks Morista (Is) lebih dari 1 maka makhluk hidup tersebut memiliki pola distribusi yang mengelompok atau teragregasi.
            Menurut Suin (2006) kebanyakan hewan distribusinya berkelompok, yang mana mereka memilih hidup pada habitat yang paling sesuai baginya, baik sesuai faktor fisika kimia tanah maupun tersediannya makanan. Michael (1994) juga menegaskan bahwa makhluk hidup tidak tinggal sendiri-sendiri tetapi berhubungan timbal balik dengan yang lain. Pola mengelompok pada hewan atau tanaman adalah suatu pola yang umum (Odum, 1998).
            Pola mengelompok ini seringkali didorong oleh adanya pola reproduksi yaitu individu muda tinggal menetap dengan induknya. Dengan adanya pengelompokan seringkali mengurangi tingkat perubahan suhu disekelilingnya selain itu sekelompok hewan juga akan mendapatkan keuntungan dalam mendapatkan makanan dan menahan serangan predator (Odum, 1998). Menurut Irwan (2003) persaingan secara luas adalah memperebutkan sesuatu antar dua organisme biasanya persaingan dalam hal ruang, makanan atau nutrien, sinar matahari, air, dan lain-lain. Michael (1994) menyatakan pada saat dua jenis makhluk hidup menempati tempat yang sama, persaingan dapat mengakibatkan pengurangan/menghilangkan salah satu karena yang lain makhluk hidup tidak tinggal sendiri-sendiri tetapi berhubungan timbal balik dengan yang lain.
            Pola distribusi yang mengelompok ini diduga terjadi karena banyaknya kandungan Fe dan Al pada tanah, sehingga tanah lebih asam dan akan menjadi toksik bagi kehidupan hewan tanah dan juga tumbuhan disana. Karena tanah asam menyebabkan cacing mencari kondisi tanah yang lebih optimal untuk hidup, sehingga terjadi pengelompokan pada suatu daerah tertentu. Brata (2009) menyatakan pH tanah merupakan faktor pembatas distribusi, jumlah, dan spesies cacing tanah. Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 7,0.

IV.   KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pola distribusi dan kerapatan cacing dari Kelas Oligochaeta pada Hutan Galam di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1)        Jenis cacing dari Kelas Oligochaeta yang ditemukan adalah Megascolex sp, dan Pheretima capensis.
2)        Kerapatan Populasi tertinggi pada daerah penelitian dimiliki oleh Megascolex sp dengan nilai 15,09 ind/m2 dengan kerapatan relatif 65,21% Sementara kerapatan terendah dimiliki oleh Pheretima capensis dengan nilai 8,05 ind/m2 dengan kerapatan relatif 34,79%.
3)        Pola Distribusi Populasi kedua jenis cacing dari kelas Oligochaeta yang ditemukan pada daerah penelitian adalah mengelompok.
Saran-saran
1)        Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pengidentifikasian cacing secara mikroskopis.
2)        Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang struktur populasi dan asosiasi kedua jenis cacing tersebut.
3)        Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang reproduksi kedua jenis cacing tersebut pada habitat yang mengandung serasah yang menghasilkan metabolit sekunder.

V.      DAFTAR PUSTAKA
Agustinus, I Made. 2009. Tingkah Laku Cacing tanah. http://tmo-sumberagung.blogspot.com/2009/05/manfaat-cacing-tanah.html. Diakses tanggal 22 Juli 2012.

Anonim, 2003. Website Resmi  Pemerintah Kabupaten Barito Kuala. http://baritokualakab.go.id. Diakses tanggal 22 Juli 2012

Anonim. 2006. Kota Terpadu Mandiri Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.http://ktm.depnakertrans.go.id/?show=ktm&catagory_id=26&sub=profile. Diakses tanggal 22 Juli 2012

Anonim. 2009. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah. http://blog.unila.ac.id/wasetiawan/files/2009/10/peranan-bahan-organik-terhadap-kesuburan-tanah.pdf. Diakses tanggal 19 Nopember 2012.

Anonim. 2010. Faktor Pembentuk Tanah. http://zabrah98.multiply.com/journal/ item/16/FAKTOR_PEMBENTUK_TANAH. Diakses tanggal 19 Nopember 2012.

Anonim, 2011. http://ekologi-hutan.blogspot.com/2011/10/ekosistem-hutan-gambut.html. Diakses tanggal 9 september 2012.

Barnes D, Robert. 1987. Invertebrata Zoology (Fift Edition). Saunders College Publishing, United States.

Brata, Bieng. 2009. Cacing Tanah Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Dan Perkembangbiakan. IPB Press, Bogor.

Budiarti & Pangkulan. 1993. Cacing Tanah. Penebar Swadaya, Jakarta.

Ciptanto, Sapto dan Paramita, Ulfah. 2011. Mendulang emas hitam melalui budi daya cacing tanah. Lily Publisher. Yogyakarta.

Darmono. 1995. Logam ; Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI-Press. Jakarta

Dharmawan, Agus. 2004. Common Textbook (Edisi Revisi) Ekologi Hewan. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNM: Malang.

Dharmono. 2000. Dampak Penanaman Galam  Terhadap Struktur, Komposisi, Vegetasi Dan Unsur Mineral Pada Lahan Gambut (Studi Kasus Terhadap 4 Lahan Gambut Di Kalimantan Selatan). Thesis Pascasarjana. Institut Teknik Bandung. Tidak dipublikasikan.

Dharmono. 2007. Dampak Tumbuhan Gelam (Melaleuca Cajuputi Powell) Terhadap Struktur Dan Komposisi Vegetasi Lahan Gambut (Studi Kasus Terhadap 4 Lahan Gambut Di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan). Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.

Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta.

Fathoni, A. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. PT Asdi Mahasatya, Jakarta.

Fitter, A.H. dan R.K.M. Hay. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Terjemahan oleh Sri Andani dan E.D. Purbayanti dari buku Environmental Physiology Of Plants. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hanafiah, Kemas Ali. Anas, Iswandi. Napoleon, A. Ghoffar, Nuni. 2005. Biologi Tanah : Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Rajawali Press, Jakarta.

Harun, Rochajat. 2009. Manfaat Cacing Tanah. http://tmo-sumberagung.blogspot.com/2009/05/manfaat-cacing-tanah.html. Diakses tanggal 22 Juli 2012.

Hegner, Robert W. & Engemann, Joseph G. 1968. Invertebrate Zoology. The Macmillan Company. New York.

Iriyanto. 2009. Potensi dan Pemanfaatan Hutan Galam. http://ryan-of-forestry-unlam08.blogspot.com/2009/05/potensi-dan-pemanfaatan-hutan-galam.html. Diakses tanggal 28 Agustus 2012.

Irwan, Z. D. 2003. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta.

Jasin, Maskuri. 1987. Sistematik Hewan (Invertebrata dan Vertebrata). Sinar  Wijaya, Surabaya.

Karim, A.A. 2003. Potensi Hutan Galam dan Pemanfaatannya. http://a2karim99.wordpress.com/k-a-r-y-a/karya-ilmiah/mengenal-galam-cajuputi/. Diakses tanggal 9 September 2012.

Kusmiati, Evi. 2010. Jenis Dan Kerapatan Populasi Cacing Tanah (Kelas Oligochaeta) Pada Perkebunan Jeruk Di Kawasan Agropolitan Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Skripsi Sarjana. Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Tidak dipublikasikan.
Lakitan, B. 2011. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Pers, Jakarta.

Manurung, Binari. 1995. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA IKIP, Medan.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan  Laboratorium (Terjemahan Yanti R. Koestoer). Usaha Nasional, Jakarta.

Naparin, Akhmad. Hardiansyah. Dharmono. 2012. Penuntun Praktikum Ekologi Hewan. PMIPA FKIP UNLAM, Banjarmasin.

Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Odum, Eugene P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. UGM Press, Yogyakarta

Palungkun, Rony. 2010. Usaha Ternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Penebar Swadaya, Jakarta.

Resosoedarmo, Soedjiran. Kartawinata, Kuswata dan Soegiarto, Aprilani. 1988. Pengantar Ekologi. Remadja Karya. Bandung.

Sahirin. 2004. Keanekaragaman cacing tanah di Pulau Bakut Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala. Skripsi Sarjana. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Tidak dipublikasikan.

Soetjipta.1993. Dasar-dasar Ekologi hewan. Fakultas Biologi. Univerisitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sofyan, Sashadi. 2010. fisika.ub.ac.id/bss-ub/PDF%20FILES/BSS_322_1.pdf. Diakses tanggal 19 Nopember 2012.

Suin, Nurdin Muhammad. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.

Wahyudi. 1999. Kerapatan dan Pola Dispersi Populasi Cacing Tanah Pada Ketinggian Berbeda di Gunung Mandiangin Kabupaten Banjar. Skripsi Sarjana. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Tidak dipublikasikan.

Verma, P.S. 2002. A Manual of Practical Zoology Invertebrates. S. CHAND & Company LTD. New Delhi.


0 komentar:

Posting Komentar