KERAPATAN DAN
POLA DISTRIBUSI CACING DARI KELAS OLIGOCHAETA PADA HUTAN GALAM DI KAWASAN DESA
TABING RIMBAH KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA
Dwi
Bagus Kariansyah, Dharmono, Kaspul
ABSTRAK
Cacing dari kelas Oligochaeta kebanyakan di contohkan dengan
jenis cacing tanah. Hewan ini bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita,
hewan ini tampak begitu lunak dan bagi sebagian orang dianggap sangat menjijikkan.
Akan tetapi, hewan ini mempunyai potensi yang sangat besar bagi kehidupan
manusia. Perannya adalah menyuburkan tanah,
sebagai obat dan juga alat kosmetik.
Hutan galam merupakan hutan yang banyak terdapat di daerah rawa Gambut. Seperti
di Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Barito Kuala, Banjar, Tanah Laut,
Tapin dan Kota Banjarbaru. Hutan galam didominasi oleh jenis kayu Galam (Melaleuca cajuputi). Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito
Kuala merupakan daerah yang memiliki Hutan Galam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan dan pola distribusi cacing dari Kelas Oligochaeta pada Hutan Galam di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Penelitian ini adalah penelitian
lapangan dengan jenis penelitian deskriptif dan metode
observasi. Teknik pengambilan sampel secara sistematis pada Hutan Galam dengan
luas 4500m x 500m dan membagi dalam 3 stasiun dengan ukuran masing-masing
stasiun 500m x 500m. Pada setiap stasiun dibuat 5 kuadran transek berukuran
100m x 100m. Pada setiap kuadran transek diambil titik sebanyak 8 titik secara
sistematis. Pada titik dibuat plot dengan luas 30cm x 30cm x 30cm. Jumlah total
titik yaitu 120 titik. Hasil penelitian terhadap cacing dari Kelas Oligochaeta
didapatkan 2 jenis yaitu : Megascolex sp
dan Pheretima capensis. Kerapatan
populasi tertinggi pada daerah penelitian dimiliki oleh Megascolex sp dengan nilai 15,09 ind/m2 dengan kerapatan
relatif 65,21%. Sementara kerapatan terendah dimiliki oleh Pheretima capensis dengan nilai 8,05 ind/m2 dengan
kerapatan relatif 34,79%. Pola distribusi dari kedua jenis cacing yang
ditemukan pada daerah penelitian ini adalah mengelompok.
Kata
kunci : kerapatan, pola distribusi, cacing dari kelas Oligochaeta, hutan galam
I.
PENDAHULUAN
Cacing dari kelas Oligochaeta kebanyakan di contohkan dengan
jenis cacing tanah, hewan ini bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita,
hewan ini tampak begitu lunak dan bagi sebagian orang dianggap sangat menjijikan.
Menurut Ciptanto dan Paramita (2011) cacing adalah makhluk hidup yang
memberikan multimanfaat bagi kehidupan manusia. Tidak hanya berfungsi sebagai
pengurai yang menentukan kesuburan tanah, namun juga bermanfaat dalam banyak
hal antara lain bahan pakan ikan dan ternak, bahan industri kosmetik,
obat-obatan dan bahan pangan.
Menurut Budiarti & Pangkulan (1993), cacing kelas Oligochaeta
dimasukkan dalam Filum Annelida yang berarti cincin, karena tubuhnya tersusun
atas segmen-segmen atau cincin-cincin. Tubuh cacing mudah beradaptasi dengan
lingkungan hidupnya sebab struktur organ-organ yang ia miliki sangat sederhana.
Untuk pergerakannya, cacing tanah menggunakan otot badannya yang panjang dan
tebal yang melingkari tubuhnya.
Menurut Hanafiah dkk. (2003) secara sistematik cacing
bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh segmen-segmen (bagian-bagian),
diselaputi oleh epidermis (kulit) berupa kutikula (kulit kaku) berpigmen tipis
dan setae (lapisan daging semu bawah
kulit), kecuali pada dua segmen pertama (bagian mulut), bersifat hermaprodit
(berkelamin ganda) dengan gonads
(peranti kelamin) seadanya pada segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa, bagian
epidermis pada posisi tertentu akan membengkak membentuk klitelum (tabung peranakan atau rahim), tempat mengeluarkan kokon (selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin
(kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung
serupa cacing dewasa.
Cacing sebenarnya sangat bermanfaat bagi masyarakat terutama
dalam bidang pertanian. Menurut Harun (2009) lahan pertanian yang mengandung cacing
pada umumnya akan lebih subur karena tanah yang bercampur dengan kotoran cacing
tanah sudah siap untuk diserap oleh akar tanaman. Cacing yang ada di dalam
tanah akan mencampurkan bahan organik pasir ataupun bahan antara lapisan atas
dan bawah. Aktivitas ini juga menyebabkan bahan
organik akan tercampur lebih merata. Agustinus (2009) juga menyatakan bahwa lahan yang banyak mengandung
cacing akan menjadi
subur, sebab kotoran cacing yang
bercampur dengan tanah telah siap untuk diserap akar tumbuh-tumbuhan. Cacing
juga dapat meningkatkan daya serap air
permukaan. Lubang-lubang yang dibuat oleh cacing tanah meningkatkan konsentrasi
udara dalam tanah. Di samping itu pada saat musim hujan lubang tersebut akan
melipatgandakan kemampuan tanah menyerap air. Secara singkat dapat dikatakan
cacing tanah berperan memperbaiki dan mempertahankan struktur tanah agar tetap
gembur.
Cacing kelas Oligochaeta
merupakan makrofauna tanah yang
berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang sehat,
baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Menurut Hanafiah
dkk. (2003) secara umum peran cacing telah terbukti baik sebagai biomelioran
(jasad hayati penyubur tanah dan penyehat) tanah terutama melalui kemampuannya
dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, seperti ketersediaan unsur hara,
dekomposisi bahan organik, pelapukan mineral, struktur aerasi, formasi agregat
drainase, dan lain-lain sehingga mampu meningkatkan produktivitas tanah.
Penelitian tentang cacing tanah di
Kalimantan Selatan pernah dilakukan oleh Wahyudi (1999) melaporkan kerapatan dan pola dispersi populasi
cacing tanah di Gunung Mandiangin Kabupaten Banjar dan
mendapatkan 3 jenis cacing yaitu; Pontoscolex corethrurus, Pheretima
capensis, Pheretima javanica. Sahirin
(2004) melaporkan
keanekaragaman cacing tanah di Pulau Bakut Kecamatan Anjir Muara Kabupaten
Barito Kuala dan mendapatkan 3 jenis cacing yaitu; Pontoscolex
corethrurus, Pheretima capensis, Pheretima
javanica.,
sedangkan Kusmiati (2010) melaporkan jenis dan kerapatan populasi cacing tanah
(kelas Oligochaeta) pada perkebunan Jeruk di kawasan Agropolitan Kecamatan
Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
Pada penelitian Kusmiati tersebut
ditemukan 4 jenis cacing tanah yaitu Pontoscolex corethrurus, Pheretima
capensis, Pheretima javanica dan Megascolex
sp.
Berdasarkan
tiga penelitian yang telah dilakukan, tempat yang dijadikan penelitian
adalah di daerah pegunungan, di dataran rendah yaitu tepatnya di Pulau Bakut
dan di wilayah perkebunan khususnya
perkebunan jeruk. Belum ada yang melakukan penelitian di
kawasan Hutan khususnya Hutan Galam. Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui
pola distribusi dan kerapatan cacing tanah pada daerah hutan galam di kawasan
Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang
digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5 - 4,0. Hal itu tentunya
menjadikan tanah sangat miskin hara (Anonim, 2011). Menurut (Indriyanto, 2005
dalam Anonim, 2011), hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat
pada daerah bergambut ialah daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam
dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan bahan tanaman yang telah mati.
Menurut Dharmono (2007) tumbuhan galam dijadikan tumbuhan
dalam reboisasi karena kemampuannya yang dapat hidup pada kondisi tanah yang
kurang subur, bersifat asam, rendah oksigen dan tanah tergenang dari pada
tumbuhan asli lainnya. Selain itu, tanaman tersebut memiliki nilai ekonomi yang
tinggi, yaitu dapat digunakan sebagai bahan dasar obat tradisional. Sisi
negatifnya, tumbuhan gelam menghasilkan berbagai metabolit sekunder yang dapat
mengganggu komposisi vegetasi hutan gambut sebelumnya, seperti flavonoid yang
menghambat proses oksidasi tanah dan meningkatkan akumulasi garam (NaCl),
Alkaloid dalam kondisi kurang oksigen akan menekan absorbsi unsur K+ dan
meningkatkan keasaman tanah.
Berdasarkan kutipan diatas, dapat dikatakan bahwa daerah
hutan galam mempunyai tanah yang cenderung memiliki pH yang asam akibat hasil
dari metabolit sekunder tumbuhan galam. Menurut Ciptanto dan Paramita (2011)
derajat keasaman (pH) juga berpengaruh pada kehidupan cacing. Cacing kelas Oligochaeta
menghendaki pH yang cenderung netral yaitu 6 - 7,5. Derajat keasaman tanah
merupakan faktor yang sangat penting untuk pertumbuhan cacing. Secara tidak
langsumg faktor derajat keasaman ini akan mempengaruhi populasi dari cacing
kelas Oligochaeta di daerah ini. Karena mempengaruhi populasi dari cacing kelas
Oligochaeta, maka kerapatan serta populasi dari populasi cacing kelas Oligochaeta
ini akan terpengaruh dengan keadaan hutan galam.
Kabupaten Barito Kuala merupakan salah
satu kabupaten di Kalimantan Selatan yang sebagian besar wilayahnya berupa
dataran rendah dengan lingkungan alam rawa gambut yang luas yang terletak di
sepanjang Sungai Barito yang memiliki keanekeragaman tumbuhan dan hewan. Salah
satu daerah yang ada di Kabupaten Barito Kuala adalah Kawasan Desa
Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana
yang mempunyai wilayah Hutan Galam.
Berdasarkan uraian di atas, maka
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang bagaimana pola
distribusi dan kerapatan populasi cacing
dari kelas Oligochaeta pada Hutan Galam di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
II.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian
lapangan dengan jenis penelitian deskriptif dan metode observasi untuk
mengumpulkan data. Menurut Fathoni (2006), penelitian lapangan adalah suatu
penelitian yang dilakukan di lapangan atau di lokasi penelitian, suatu tempat
yang dipilih sebagai lokasi untuk menyelidiki gejala obyektif yang terjadi di
lokasi tersebut. Jenis penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang
bermaksud untuk mengadakan pemeriksaan dan pengukuran terhadap gejala-gejala
tertentu. Untuk definisi metode observasi, selanjutnya Fathoni (2006)
mendefinisikannya sebagai metode pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu pengamatan
dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku obyek
sasaran.
Teknik pengambilan sampel jenis cacing
dengan cara menggali pada daerah kuadran yang ditetapkan dengan ukuran 4500 m x
500 m. Pada daerah tersebut di bagi daerah menjadi 3 stasiun pengamatan dalam
bentuk kuadran berukuran 500 m x 500 m yang di tiap stasiun dibuat 5 daerah
transek secara sistematis dengan luas 100 m x 100 m. Pada setiap daerah transek
diambil 8 titik. Pada setiap titik dibuat plot dengan ukuran 30 cm x 30 cm x 30
cm.
Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Hutan Galam Desa
Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Penelitian
dilakukan di beberapa stasiun penggambilan sampel dengan cara menggali tanah.
Secara
keseluruhan waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah 6 bulan yang meliputi masa
persiapan (survey lokasi penelitian dan penyusunan proposal), pelaksanaan
penelitian, pengumpulan data, analisis data sampai penyusunan skripsi. Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober 2012.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis
cacing dari kelas Oligochaeta yang terdapat di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan
Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
Sampel penelitian adalah semua jenis cacing dari kelas Oligochaeta yang didapatkan dalam Kawasan hutan
galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana
Kabupaten Barito Kuala yang ditemukan dengan menggali tanah
menggunakan alat penggali serta kuadran modifikasi berukuran 30x30x30 cm.
III.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Jenis Cacing Dari Kelas
Oligochaeta yang ditemukan
Berdasarkan hasil perhitungan di lapangan didapatkan jumlah
dari tiap-tiap cacing tanah yang dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah anggota tiap jenis
cacing tanah yang ditemukan pada seluruh stasiun pengamatan di Kawasan Hutan
Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala
No.
|
Nama Jenis
|
Stasiun 1
|
Stasiun 2
|
Stasiun 3
|
Jumlah Setiap Jenis
|
1.
|
Megascolex sp
Pheretima capensis
|
70
37
|
55
34
|
38
16
|
163
87
|
Jumlah
|
107
|
89
|
54
|
250
|
Berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya yaitu penelitian Wahyudi (1999) di Gunung Mandiangin Kabupaten Banjar
dan juga Sahirin (2004) di Pulau Bakut
Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala
didapatkan tiga jenis cacing tanah yaitu Pontoscolex
corethrurus, Pheretima capensis,
dan Pheretima javanica. Sementara
dari penelitian Kusmiati (2010) menemukan 4 jenis cacing tanah yaitu Megascolex sp, Pontoscolex corethrurus, Pheretima
capensis, dan Pheretima javanica.
Dari penelitian Wahyudi (1999) dan Sahirin (2004) tersebut sama-sama didapatkan
bahwa jenis yang paling banyak ditemukan adalah Pontoscolex corethrurus sedangkan pada penelitian dari Kusmiati
(2010) jenis cacing tanah yang paling banyak ditemukan adalah Megascolex sp..
Hasil
penelitian yang dilakukan pada hutan galam di Kawasan Desa Tabing Rimbah
didapatkan jenis yang paling banyak ditemukan adalah Megascolex sp. Menurut Muller (2005), Megascolex sp bersifat epigeik, fleksibel, dapat ditemukan aktif hingga kedalaman 20 cm atau di
dekat permukaan di bawah serasah atau bahan organik lainnya membusuk, dan dapat
memanfaatkan bahan organik berkualitas rendah. Cacing ini memakan serasah di permukaan tanah dan
tidak mencerna tanah (Palungkun, 2010). Megascolex sp tersebut mengambil
bahan-bahan organik maupun serasah-serasah di permukaan tanah untuk dijadikan
sebagai bahan makanan yang salah satunya adalah serasah daun.
Megascolex sp merupakan cacing jenis
epigeik di mana merupakan cacing tanah berukuran kecil yang aktif di permukaan
tanah dan pada umumnya tidak menghasilkan terowongan (Sofyan, 2010). Menurut
Hanafiah dkk. (2003) cacing jenis epigeik mempunyai otot penggali yang dapat
mengecil ketika menggali tanah, kemudian rata-rata mempunyai bobot yang ringan
sekitar 10-30 mg, mempunyai kepekaan cahaya yang sedikit dan tanpa adanya
regenerasi. Kemudian untuk tingkat kesuburan dalam hal reproduksinya tinggi,
ketahanan terhadap lingkungan yang buruk juga tinggi, dengan kebutuhan makanan
yang sedang dengan pergerakan isi perut yang lambat. Cacing jenis ini juga
hidup pada kedalaman kurang dari 8 cm.
Jenis
yang paling sedikit ditemukan adalah Pheretima
capensis. Diduga sedikitnya jumlah jenis ini karena kurangnya adaptasi
terhadap lingkungan di kawasan hutan tersebut. Hal ini berkaitan dengan
sifatnya yang endogeik di mana adalah kelompok cacing tanah yang hidup dekat
permukaan tanah dan membentuk terowongan horizontal. Menurut Palungkun (2010), cacing ini memakan tanah dan bahan organik, serta
akar-akar mati. Menurut Hanafiah dkk. (2003) cacing jenis endogeik
mempunyai otot penggali yang dapat mengembang ketika menggali tanah, kemudian
rata-rata mempunyai bobot yang ringan dan ada juga yang berat, mempunyai
kepekaan cahaya yang kuat dan adanya regenerasi. Kemudian untuk tingkat
kesuburannya terbatas, ketahanan terhadap lingkungan juga sedang, dengan
kebutuhan makanan yang sedikit dengan pergerakan isi perut yang cepat.
Sedikitnya
jumlah cacing tanah yang didapatkan pada penelitian ini pada stasiun ketiga
dibandingkan pada stasiun pertama dan kedua diduga karena adanya faktor luar
yaitu serasah daun galam yang dihasilkan oleh tumbuhan galam. Hal ini karena
tumbuhan galam pada stasiun ketiga lebih lebat dan padat sehingga pastinya
berpengaruh terhadap produksi serasah yang dihasilkan daripada . Adanya
perbedaan jumlah produksi serasah yang dihasilkan diduga berpengaruh terhadap
populasi cacing tanah. Hal ini disebabkan serasah yang dihasilkan pada tumbuhan
galam menghasilkan metabolit sekunder dalam hal ini flavanoid dan minyak
atsiri. Daun segar dan daun kering Melaleuca cajuputi P. mengandung
flavonoid dan minyak atsiri (sineol, 1-limonena dan asam betulinat) (Anonim,
1980 dalam Dharmono 2007)).
Senyawa
metabolit sekunder berpengaruh terhadap tanah. Misalnya flavonoid berperan
menghambat proses oksidasi tanah dan meningkatkan akumulasi garam (NaCl).
Alkaloid dalam kondisi kurang oksigen akan menekan absorbsi unsur K+ dan
meningkatkan keasaman tanah. Ionisasi hidrogen fenolik senyawa fenol pada tanah
menentukan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah dan menyebabkan berkurangnya
kelarutan unsur-unsur hara tertentu (Fitter & Hay, 1981).
Menurut
Harbone (1996), minyak atsiri berperan sebagai antibiotik, menghambat
pertumbuhan tumbuhan pesaing dan mengikat gugus fosfat. Fenol berpengaruh
terhadap kondisi keasaman, Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah dan menyebabkan
berkurangnya unsur-unsur hara tertentu akibat pencucian. Minyak atsiri secara
umum terdiri atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O),
kadang-kadang juga terdiri atas nitrogen (N) dan belerang (S). Minyak atsiri
mengandung resin dan lilin dalam jumlah kecil yang merupakan komponen yang
tidak dapat menguap. Serasah yang memiliki kandungan bahan atsiri ternyata
memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan bagi kesuburan tanah, yaitu
terjadi perubahan pH, kandungan mineral, dan sifat fisik tanah, karena adanya
senyawa-senyawa metabolit sekunder (flavonoid dan minyak atsiri) yang bersifat
racun. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Dharmono
(2000) pada lahan gambut di Kalimantan Selatan, dijelaskan bahwa serasah galam
yang mengandung flavonoid dan minyak atsiri menyebabkan lambatnya penguraian
serasah galam.
Hal
ini semakin menegaskan bahwa tanah pada hutan galam tersebut mengandung
metabolit sekunder yaitu flavanoid dan minyak atsiri dan diduga cacing jenis Megascolex sp yang dapat mentoleransi
dampak flavanoid dan minyak atsiri tersebut.
Kemampuan
cacing tanah untuk beradaptasi dengan lingkungannya merupakan salah satu faktor
penyelamat yang melestarikan suatu jenis cacing tanah dari seleksi alamiah
(Hanafiah, dkk, 2003). Oleh karena itu banyak sedikitnya jenis cacing yang
ditemukan tergantung apakah jenis cacing tersebut dapat beradaptasi dengan
baik.
Hasil penelitian di Hutan Galam Desa Tabing Rimbah dan tiga
penelitian sebelumnya yaitu penelitian Wahyudi (1999) di Gunung Mandiangin Kabupaten Banjar,
Sahirin (2004) di Pulau Bakut
Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala dan
juga Kusmiati (2010) di perkebunan jeruk kawasan Agropolitan, ternyata didapatkan tiga jenis cacing
tanah yang sama yaitu Pontoscolex
corethrurus, Pheretima capensis,
dan Pheretima javanica. Namun, pada
penelitian ini, peneliti menemukan 2 jenis cacing tanah yaitu Megascolex sp dan Pheretima capensis. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian
tersebut, peneliti dapat menyimpulkan bahwa jenis-jenis cacing tanah yang
ditemukan di sebagian kecil Kalimantan Selatan antara lain jenis-jenis dari Pontoscolex corethrurus, Pheretima capensis, Pheretima javanica, dan juga satu jenis cacing yang tidak ditemukan
pada penelitian sebelumnya yaitu
Megascolex sp.
Tidak ditemukannya Megascolex
sp. pada penelitian sebelumnya diduga karena perbedaan tempat penelitian
dalam pengambilan sampel. Pada penelitian Wahyudi (1999) dilakukan pada tempat
daerah tinggi yaitu di gunung mandiangin. Sedangkan pada penelitian Sahirin
(2004) dilakukan pada daerah Pulau Bakut.
Pada penelitian Kusmiati (2010) dan penelitian ini mendapatkan cacing
jenis Megascolex sp. diduga karena
dilakukan pada tempat penelitian yang hampir berdekatan, yaitu pada daerah
Kecamatan Mandastana.
Kerapatan
Populasi Cacing dari Kelas Oligochaeta
Hasil penelitian yang dilakukan pada Hutan Galam Di Kawasan
Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala, didapatkan dua
jenis cacing tanah dari Kelas Oligochaeta dengan nilai kerapatan yang berbeda-beda. Hasil
perhitungan kerapatan (K) dari pengambilan sampel pada Hutan Galam Di Kawasan
Desa Tabing Rimbah tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan tabel 3 dibawah ini.
Tabel 2. Kerapatan populasi cacing dari kelas Oligochaeta Pada Hutan
Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan
Mandastana Kabupaten Barito Kuala
No
|
Nama Jenis
|
K (ind/m2)
|
KR (%)
|
1
|
Megascolex sp
|
15,09
|
65,21
|
2
|
Pheretima capensis
|
8,05
|
34,79
|
|
|
23,14
|
100,00
|
Tabel 3. Kerapatan populasi cacing dari kelas Oligochaeta
pada setiap stasiun pengamatan Pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
No
|
Nama Jenis
|
Stasiun 1
|
Stasiun 2
|
Stasiun 3
|
|||
K
(ind/m2)
|
KR
(%)
|
K
(ind/m2)
|
KR
(%)
|
K
(ind/m2)
|
KR
(%)
|
||
1
|
Megascolex sp
|
19,44
|
65,41
|
16,28
|
63,18
|
10,56
|
70,40
|
2
|
Pheretima capensis
|
10,28
|
34,59
|
9,44
|
36,82
|
4,44
|
29,60
|
|
|
29,72
|
100,00
|
25,72
|
100,00
|
15,00
|
100,00
|
Hasil penelitian yang dilakukan pada Hutan Galam Di Kawasan
Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala, didapatkan dua
jenis cacing tanah dari Kelas Oligochaeta dengan nilai kerapatan yang berbeda-beda pada
setiap stasiun. Namun
untuk pola distribusi dari kedua jenis cacing dari kelas Oligochaeta yang
memiliki pola distribusi yang sama.
Hasil perhitungan kerapatan (K) dari pengambilan sampel pada
stasiun 1 tersebut didapatkan untuk jenis Megascolex
sp. nilai kerapatannya adalah 19,44 ind/m2 sementara untuk jenis
Pheretima capensis nilai kerapatannya
adalah 10,28 ind/m2. Stasiun ini berdekatan dengan jalan umum yang
sering digunakan warga. Kondisi Hutan Galam pada stasiun ini sudah terjamah
oleh manusia, banyak pohon galam yang sudah dimanfaatkan masyarakat disana.
Pada stasiun 2 didapatkan hasil perhitungan untuk jenis Megascolex sp. nilai kerapatannya adalah 16,28 ind/m2 sementara
untuk jenis Pheretima capensis nilai
kerapatannya adalah 9,44 ind/m2. Wilayah pada stasiun ini sudah
memasuki hutan galam yang lumayan lebat dengan tumbuhan galam. Namun pada
stasiun ini tumbuhan galam sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar akan
tetapi intensitasnya tidak sebanyak pada stasiun 1. Sementara pada stasiun 3
didapatkan hasil perhitungan untuk jenis Megascolex
sp. nilai kerapatannya adalah 10,56 ind/m2 sementara untuk jenis
Pheretima capensis nilai kerapatannya
adalah 4,44 ind/m2. Kondisi hutan galam pada stasiun ini masih
sangat alami. Ini terlihat dari lebatnya tumbuhan galam yang tumbuh dan tidak
ada aktifitas penebangan ataupun bekas penebangan oleh warga sekitar.
Banyak sedikitnya jenis cacing dari kelas Oligochaeta yang
ada disana diduga karena cacing dapat bertoleransi dengan kondisi hutan yang
berbeda-beda pada setiap stasiun yang ada disana. Setiap stasiun mempunyai
karakteristik masing-masing seperti yang telah dipaparkan diatas.
Hasil
tiga penelitian sebelumnya kerapatan yang tertinggi dimiliki oleh Pontoscolex corethrurus dengan nilai
kerapatan untuk penelitian Sahirin (2004) sebesar 29,38 ind/m2, dan untuk penelitian Wahyudi (1998) sebesar
11,0 ind/m2. Sementara kerapatan terendah sama-sama dimiliki oleh Pheretima javanica dengan nilai 0,49
ind/m2 dan 2,4 ind/m2. Untuk hasil penelitian dari
Kusmiati (2010) nilai kerapatan yang paling tinggi dimiliki oleh Megascolex sp dengan nilai 4,19 ind/m2
sedangkan nilai kerapatan yang terendah dimiliki oleh Pheretima javanica dengan nilai
kerapatan 0,54 ind/m2.
Nilai
kerapatan pada hasil penelitian ini didapatkan untuk kerapatan tertinggi pada
Hutan Galam dimiliki oleh Megascolex sp
yang ada pada stasiun 1 dengan nilai kerapatan 19,44 ind/m2.
Kerapatan terendah pada Hutan Galam dimiliki oleh Pheretima capensis yang ada pada stasiun 3 dengan nilai 4,44 ind/m2.
Banyak
sedikitnya populasi cacing tanah diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan
abiotik. Budiarti & Pangkulan (1993) mengatakan bahwa suhu yang diperlukan
untuk pertumbuhan cacing tanah dan penetasan telur adalah 150C – 250C.
Suhu yang lebih tinggi dari 250C masih baik, asal ada naungan yang
cukup dan kelembaban optimal. Bila suhu terlalu tinggi atau terlalu rendah,
semua proses fisiologis, seperti pernapasan, pertumbuhan, perkembangbiakan, dan
metabolisme terganggu. Kondisi suhu yang demikian diduga turut berdampak
terhadap kerapatan dan juga keanekaragaman cacing tanah, karena suhu di atas
rentang yang diperlukan oleh cacing tanah untuk hidup dengan baik.
Menurut
Anonim (2009) temperatur sangat mempengaruhi aktivitas pertumbuhan,
metabolisme, respirasi dan reproduksi cacing tanah. Setiap jenis cacing tanah
memiliki temperatur yang berbeda untuk kelangsungan hidupnya. Periode
pertumbuhan mulai dari penetasan sampai pada dewasa juga tergantung pada
temperatur. Untuk suhu pada hutan galam secara keseluruhan didapatkan kisaran
antara 260C–280C. Hal ini mengindikasikan bahwa suhu pada
Hutan Galam tersebut kurang optimal untuk kehidupan cacing tanah.
Kelembaban
mempunyai peranan yang sangat penting di dalam mendeteksi keaktifan cacing
tanah, karena hal ini berhubungan dengan struktur fisik dan proses kehidupan
cacing tanah yang serupa dengan hewan perairan dibandingkan dengan hewan
terrestrial (Brata, 2009). Untuk kelembaban tanah pada Hutan Galam didapatkan
hasil pengukuran pada stasiun 1 berkisar antara 80% – 90%. Pada stasiun 2
berkisar antara 70% – 90%. Sementara pada stasiun 3 berkisar antara 70% – 90%. Kelembaban tanah sangat dipengaruhi oleh kelembaban udara
dan berbanding searah, apabila kelembaban udara tinggi maka kelembaban tanah
juga tinggi (Jumar, 2003). Hanafiah dkk, (2003) mengatakan sekitar
75%–90% bobot cacing tanah hidup adalah air sehingga dehidrasi (pengeringan)
merupakan hal yang sangat menentukan bagi cacing tanah. Menurut Odum (1998), kelembaban memberikan efek membatasi
terhadap organisme apabila dalam keadaan ekstrim, yakni apabila keadaan sangat
rendah atau tinggi. Secara alamiah, cacing akan bergerak
ke tempat yang lebih basah atau diam jika terjadi kekeringan tanah. Dari hasil
pengukuran yang didapat ternyata tingkat kelembaban tanah pada hutan Galam pada
kawasan Desa Tabing Rimbah cukup optimal untuk kehidupan cacing tanah sehingga
kelembaban tanah diduga tidak turut menentukan kerapatan dari cacing tanah pada
hutan Galam di kawasan Desa Tabing Rimbah. Kelembaban yang cukup tinggi pada
hutan Galam ini diduga akibat adanya aliran sungai yang melintasi kawasan
pengambilan sampel, sehingga menyebabkan kelembaban tanah tinggi.
pH tanah merupakan faktor pembatas distribusi,
jumlah, dan jenis cacing tanah (Brata, 2009). Umumnya cacing tanah tumbuh baik
pada pH sekitar 7,0. Menurut Anonim (2009), cacing tanah sangat sensitif
terhadap keasaman tanah. pH merupakan faktor pembatas dalam penyebaran cacing
tanah, dan setiap jenis cacing tanah memiliki tingkat preferensi yang berbeda
terhadap pH media. Cacing tanah lebih banyak terdapat pada tanah yang mempunyai
tekstur lempung sedang ataupun lempung kasar dibandingkan dengan tanah yang
liat berat ataupun pasir kasar dan tanah alluvial (Anonim, 2009). Untuk pH
tanah pada Hutan Galam didapatkan hasil pada stasiun 1 berkisar antara 5,0–5,3,
pada stasiun 2 berkisar antara 4,6-5,1 sementara pada stasiun 3 didapatkan
kisaran antara 4,4-4,8.
Faktor
yang menyebabkan semakin rendahnya pH tanah pada setiap stasiun diduga karena
kondisi lingkungan dari setiap stasiun yang berbeda-beda. Dharmono (2000)
mengatakan tumbuhan galam yang tumbuh
pada lahan gambut dapat menyebabkan pH tanah yang rendah. Serasah galam
yang mengandung metabolit sekunder juga mempengaruhi keasaman tanah. Pada
stasiun 1 misalnya, tumbuhan galam pada daerah ini kurang begitu lebat karena
sudah dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk diperdagangkan, serta jarak stasiun
1 ini yang sangat berdekatan dengan jalan sehingga memudahkan warga untuk
mencapai tempt ini. Sementara kondisi hutan galam pada stasiun 2 juga sudah
terpengaruh oleh penebangaan dari warga yang memanfaatkan tumbuhan ini untuk
diperdagangkan, namun intensitas penebangannya tidak sebanyak pada stasiun 1,
ini dapat dilihat pada waktu pengamatan kondisi hutan galam yang lumayan lebat.
Berbeda dengan kondisi hutan galam pada stasiun 3 yang sangat lebat dan belum
terjamah oleh tangan manusia. Tumbuhan galam yang tumbuh pada lahan ini sangat
rapat. Hal ini mengindikasikan bahwa pH tanah pada hutan Galam tersebut diduga
kurang optimal bagi kehidupan cacing tanah yang lebih cenderung menyukai
kondisi pH tanah yang netral.
Distribusi
cacing tanah sangat dipengaruhi oleh bahan organik di dalam tanah. Kotoran
hewan dan pelapukan daun-daunan merupakan sumber bahan organik yang biasanya
baik untuk pembiakan cacing tanah. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan
cacing tanah memerlukan bahan makanan dari tanah, agar dapat bertahan untuk
hidup. Jenis dan jumlah makanan yang tersedia tidak saja mempengaruhi besarnya
populasi cacing tanah, tetapi juga jenis yang ada, kecepatan tumbuh serta
kesuburan dari cacing tanah. Dengan demikian pH tanah diduga turut menentukan
kerapatan cacing tanah di kawasan Hutan Galam yang rendah. Bahan organik yang masih mengalami
proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan penurunan
pH tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik
yang menyebabkan menurunnya pH tanah.
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suhu dan pH tanah di Kawasan Hutan Galam
tidak cukup baik untuk pertumbuhan cacing. Hal ini dapat dilihat dari
sedikitnya jenis cacing yang ditemukan dan kerapatan dari masing-masing jenis
cacing yang sangat jauh berbeda. Sementara itu dari beberapa faktor lingkungan
yang berhasil diamati (suhu, kelembaban tanah, dan pH tanah) yang mendukung
kehidupan cacing tanah di kawasan hutan galam hanyalah kelembaban tanah yang
secara keseluruhan berkisar antara 70%-90%. Menurut Anonim (2010) pada umumnya makin banyak
curah hujan maka keasaman tanah makin tinggi atau pH tanah makin rendah, karena
banyak unsur-unsur logam alkali tanah yang terlarut misalnya, Na, Ca, Mg, dan
K, dan sebaliknya makin rendah curah hujan maka makin rendah tingkat keasaman
tanah dan makin tinggi pH tanah.
Keasaman tanah pada daerah
ini juga diduga akibat adanya kandungan Fe dan Al yang menyebabkan tanah
menjadi asam. Menurut Darmono (1995) Pada saat unsur logam melarut dalam tanah
yang lebih dalam, akan terjadi akumulasi alumunium (Al). Hal ini terutama
terjadi pada pH 5. Daya larut Al ini sangat cepat dan melebihi kapasitas buffer
dari mineral silikat yang akan mengikatnya sebagai alumunium silikat, sehingga
terjadi kelebihan unsur Al yang dapat menyababkan ekosistem hutan menjadi tidak
stabil. Menurut Dharmono (2000) tanaman galam yang tumbuh pada lahan gambut
memberikan dampak kandungan Fe dan Al semakin meningkat pada tanah. Hal ini
dapat menyebabkan tanah menjadi beracun.
Berdasarkan
tabel analisis contoh tanah, kandungan C organik pada tanah di kawasan hutan
galam adalah 4,75 %. Menurut Lakitan (2011) menerangkan bahwa zona kecukupan
untuk unsur karbon (C) adalah 45 %. Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat
dikatakan tanah di hutan galam mengalami kekurangan unsur hara C. Noor (2004)
menerangkan bahwa karbondioksida (CO2) umumnya dihasilkan dari
perombakan bahan organik di rawa. Akumulasi CO2 terjadi pada tanah
tergenang yang kaya bahan organik dan besi. Bahan organik berupa unsur C
mempunyai peranan yang sangat penting dalam tanah terutama pengaruhnya terhadap
kesuburan tanah. Lakitan (2011) memaparkan bahwa unsur C merupakan salah satu unsur makro bersama
dengan unsur makro lainnya meliputi unsur H, O dan N. Di alam unsur ini
tersedia dalam bentuk CO2.
Diduga
terjadi hubungan interaksi antara kedua jenis cacing yang ditemukan. Interaksi
yang terjadi merupakan kompetisi dalam mencari bahan makanan yang berupa
serasah daun yang bukan dari tumbuhan galam. Cacing tidak memakan serasah galam
karena serasah galam tersebut banyak mengandung metabolit sekunder berupa
minyak atsiri dan flavanoid yang mempunyai sifat asam (Dharmono, 2000).
Sedangkan menurut Budiarti & Pangkulan (1993), bila makanan terlalu asam
dan banyak aktifitas bakteri di dalamnya, maka hal ini akan mengakibatkan
pembengkakan pada tembolok cacing dan dapat menyebabkan kematian pada cacing.
Dapat dikatakan cacing yang ditemukan pada daerah penelitian tidak memakan
serasah Galam, namun memakan serasah tumbuhan lain yang ada disana, seperti
serasah daun akasia dan serasah daun karamunting ataupun serasah semak yang
lain.
Dilihat
dari kondisi pada tempat penelitian yang lebih didominasi tumbuhan galam dan
sedikit sekali tumbuhan lain yang dapat hidup. sehingga sangat sedikit serasah
tumbuhan lain yang tersedia yang merupakan makanan dari cacing ini. Diduga
terjadi kompetisi antara Megascolex sp
dan Pheretima capensis dalam hal
pencarian makanan yang sangat sedikit terdapat pada daerah ini.
Pola
Distribusi Populasi Cacing dari Kelas Oligochaeta
Hasil penelitian yang dilakukan pada Hutan Galam Di Kawasan
Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala, didapatkan dua
jenis cacing tanah dari Kelas Oligochaeta dengan pola distibusi yang berbeda-beda. Hasil
perhitungan Indeks Morista (Is) dari pengambilan sampel pada Hutan Galam Di
Kawasan Desa Tabing Rimbah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dan tabel 5
dibawah ini.
Tabel 4. Pola Distribusi populasi
cacing dari
kelas Oligochaeta Pada Hutan Galam Di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.
No
|
Nama Jenis
|
Nilai Indeks Morista (Is)
|
1
|
Megascolex sp
|
1,74
|
2
|
Pheretima capensis
|
2,54
|
Tabel 5. Pola Distribusi populasi
cacing dari
kelas Oligochaeta pada setiap stasiun pengamatan Pada Hutan Galam Di Kawasan
Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten
Barito Kuala.
No
|
Nama Jenis
|
Nilai Indeks Morista (IS)
|
||
Stasiun 1
|
Stasiun 2
|
Stasiun 3
|
||
1
|
Megascolex sp
|
1,64
|
1,61
|
1,78
|
2
|
Pheretima capensis
|
2,22
|
2,18
|
3,60
|
Pola ditribusi dari kedua jenis cacing dari Kelas
Oligochaeta pada setiap stasiun pengamatan di hutan Galam pada kawasan Desa Tabing
Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito kuala sama-sama memiliki pola
distribusi mengelompok yaitu nilai indeks morista yang didapat lebih dari 1
atau IS > 1.
Dari hasil perhitungan indeks
morista (Is) untuk mengetahui pola distribusi dari cacing yang ditemukan pada
stasiun 1 didapatkan hasil untuk jenis Megascolex
sp. memiliki Is = 1,64 sementara untuk jenis Pheretima capensis Is = 2,22. Pada stasiun 2 didapatkan hasil untuk
jenis Megascolex sp. memiliki Is =
1,61 sementara untuk jenis Pheretima
capensis Is = 2,18. pada stasiun 3
didapatkan hasil untuk jenis Megascolex
sp. memiliki Is = 1,78 sementara untuk jenis Pheretima capensis Is = 3,60. Jadi dari kedua jenis cacing yang
ditemukan di tiga stasiun berbeda dapat dikatakan kedua jenis cacing ini
memiliki nilai Is yang lebih dari 1 (Is > 1). Menurut Michael (1994) jika
suatu makhluk hidup memiliki Indeks Morista (Is) lebih dari 1 maka makhluk
hidup tersebut memiliki pola distribusi yang mengelompok atau teragregasi.
Menurut Suin (2006) kebanyakan hewan distribusinya
berkelompok, yang mana mereka memilih hidup pada habitat yang paling sesuai
baginya, baik sesuai faktor fisika kimia tanah maupun tersediannya makanan.
Michael (1994) juga menegaskan bahwa makhluk hidup tidak tinggal
sendiri-sendiri tetapi berhubungan timbal balik dengan yang lain. Pola
mengelompok pada hewan atau tanaman adalah suatu pola yang umum (Odum, 1998).
Pola mengelompok ini seringkali didorong oleh adanya pola
reproduksi yaitu individu muda tinggal menetap dengan induknya. Dengan adanya
pengelompokan seringkali mengurangi tingkat perubahan suhu disekelilingnya
selain itu sekelompok hewan juga akan mendapatkan keuntungan dalam mendapatkan makanan
dan menahan serangan predator (Odum, 1998). Menurut
Irwan (2003) persaingan secara luas adalah memperebutkan sesuatu antar dua
organisme biasanya persaingan dalam hal ruang, makanan atau nutrien, sinar
matahari, air, dan lain-lain. Michael (1994) menyatakan pada saat dua jenis
makhluk hidup menempati tempat yang sama, persaingan dapat mengakibatkan
pengurangan/menghilangkan salah satu karena yang lain makhluk hidup tidak
tinggal sendiri-sendiri tetapi berhubungan timbal balik dengan yang lain.
Pola distribusi yang mengelompok ini
diduga terjadi karena banyaknya kandungan Fe dan Al pada tanah, sehingga tanah
lebih asam dan akan menjadi toksik bagi kehidupan hewan tanah dan juga tumbuhan
disana. Karena tanah asam menyebabkan cacing mencari kondisi tanah yang lebih
optimal untuk hidup, sehingga terjadi pengelompokan pada suatu daerah tertentu.
Brata (2009) menyatakan pH tanah merupakan faktor pembatas distribusi, jumlah,
dan spesies cacing tanah. Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 7,0.
IV.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian mengenai pola distribusi dan kerapatan cacing dari Kelas
Oligochaeta pada Hutan Galam di Kawasan Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana
Kabupaten Barito Kuala dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1)
Jenis cacing dari Kelas Oligochaeta
yang ditemukan adalah Megascolex sp,
dan Pheretima capensis.
2)
Kerapatan Populasi tertinggi pada
daerah penelitian dimiliki oleh Megascolex
sp dengan nilai 15,09 ind/m2 dengan kerapatan relatif 65,21%
Sementara kerapatan terendah dimiliki oleh Pheretima
capensis dengan nilai 8,05 ind/m2 dengan kerapatan relatif
34,79%.
3)
Pola Distribusi Populasi kedua jenis
cacing dari kelas Oligochaeta yang ditemukan pada daerah penelitian adalah
mengelompok.
Saran-saran
1)
Perlu adanya penelitian lebih lanjut
tentang pengidentifikasian cacing secara mikroskopis.
2)
Perlu adanya penelitian lebih lanjut
tentang struktur populasi dan asosiasi kedua jenis cacing tersebut.
3)
Perlu adanya penelitian lebih lanjut
tentang reproduksi kedua jenis cacing tersebut pada habitat yang mengandung
serasah yang menghasilkan metabolit sekunder.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustinus,
I Made. 2009. Tingkah Laku Cacing tanah.
http://tmo-sumberagung.blogspot.com/2009/05/manfaat-cacing-tanah.html.
Diakses tanggal 22 Juli 2012.
Anonim, 2003. Website Resmi
Pemerintah Kabupaten Barito Kuala. http://baritokualakab.go.id. Diakses
tanggal 22 Juli 2012
Anonim. 2006. Kota
Terpadu Mandiri Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.http://ktm.depnakertrans.go.id/?show=ktm&catagory_id=26&sub=profile. Diakses tanggal 22 Juli 2012
Anonim. 2009. Peranan
Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah. http://blog.unila.ac.id/wasetiawan/files/2009/10/peranan-bahan-organik-terhadap-kesuburan-tanah.pdf. Diakses
tanggal 19 Nopember
2012.
Anonim. 2010. Faktor Pembentuk Tanah. http://zabrah98.multiply.com/journal/ item/16/FAKTOR_PEMBENTUK_TANAH. Diakses tanggal 19 Nopember 2012.
Anonim, 2011. http://ekologi-hutan.blogspot.com/2011/10/ekosistem-hutan-gambut.html.
Diakses tanggal 9 september 2012.
Barnes
D, Robert. 1987. Invertebrata Zoology (Fift Edition).
Saunders College Publishing, United States.
Brata, Bieng. 2009. Cacing Tanah Faktor Yang Mempengaruhi
Pertumbuhan Dan Perkembangbiakan. IPB Press, Bogor.
Budiarti & Pangkulan. 1993. Cacing Tanah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Ciptanto,
Sapto dan Paramita, Ulfah. 2011. Mendulang
emas hitam melalui budi daya cacing tanah. Lily Publisher. Yogyakarta.
Darmono.
1995. Logam ; Dalam Sistem Biologi
Makhluk Hidup. UI-Press. Jakarta
Dharmawan, Agus. 2004. Common Textbook (Edisi Revisi) Ekologi
Hewan. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNM:
Malang.
Dharmono.
2000. Dampak Penanaman Galam Terhadap
Struktur, Komposisi, Vegetasi Dan Unsur Mineral Pada Lahan Gambut
(Studi Kasus Terhadap 4 Lahan Gambut Di Kalimantan
Selatan). Thesis Pascasarjana. Institut
Teknik Bandung. Tidak dipublikasikan.
Dharmono.
2007. Dampak Tumbuhan Gelam (Melaleuca Cajuputi Powell) Terhadap Struktur Dan Komposisi
Vegetasi Lahan Gambut (Studi
Kasus Terhadap 4 Lahan Gambut Di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan). Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.
Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi
Aksara, Jakarta.
Fathoni, A. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan
Skripsi. PT Asdi Mahasatya, Jakarta.
Fitter,
A.H. dan R.K.M. Hay. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Terjemahan oleh
Sri Andani dan E.D. Purbayanti dari buku Environmental Physiology Of Plants.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hanafiah, Kemas Ali.
Anas, Iswandi. Napoleon, A. Ghoffar, Nuni.
2005.
Biologi Tanah : Ekologi dan Makrobiologi Tanah.
Rajawali Press, Jakarta.
Harun,
Rochajat. 2009. Manfaat Cacing Tanah. http://tmo-sumberagung.blogspot.com/2009/05/manfaat-cacing-tanah.html. Diakses tanggal 22 Juli 2012.
Hegner, Robert W. & Engemann,
Joseph G. 1968. Invertebrate Zoology. The
Macmillan Company. New York.
Iriyanto.
2009. Potensi dan Pemanfaatan Hutan
Galam. http://ryan-of-forestry-unlam08.blogspot.com/2009/05/potensi-dan-pemanfaatan-hutan-galam.html. Diakses tanggal 28 Agustus 2012.
Irwan, Z. D. 2003. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi
Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta.
Jasin,
Maskuri. 1987. Sistematik Hewan
(Invertebrata dan Vertebrata). Sinar
Wijaya, Surabaya.
Karim,
A.A. 2003. Potensi Hutan Galam dan
Pemanfaatannya. http://a2karim99.wordpress.com/k-a-r-y-a/karya-ilmiah/mengenal-galam-cajuputi/. Diakses tanggal 9 September 2012.
Kusmiati,
Evi. 2010. Jenis Dan Kerapatan Populasi
Cacing Tanah (Kelas Oligochaeta) Pada Perkebunan Jeruk Di Kawasan Agropolitan
Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Skripsi
Sarjana. Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Tidak dipublikasikan.
Lakitan, B. 2011. Dasar-Dasar
Fisiologi Tumbuhan. Rajawali Pers, Jakarta.
Manurung,
Binari. 1995. Dasar-Dasar Ekologi Hewan.
Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA IKIP, Medan.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan
dan Laboratorium (Terjemahan Yanti R.
Koestoer). Usaha Nasional, Jakarta.
Naparin, Akhmad.
Hardiansyah. Dharmono. 2012. Penuntun
Praktikum Ekologi Hewan. PMIPA FKIP UNLAM, Banjarmasin.
Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan
Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Odum, Eugene P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. UGM Press,
Yogyakarta
Palungkun, Rony. 2010. Usaha
Ternak Cacing Tanah Lumbricus rubellus. Penebar Swadaya, Jakarta.
Resosoedarmo, Soedjiran. Kartawinata,
Kuswata dan Soegiarto, Aprilani. 1988. Pengantar
Ekologi. Remadja Karya. Bandung.
Sahirin. 2004. Keanekaragaman cacing tanah di Pulau Bakut
Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala. Skripsi Sarjana. Universitas
Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Tidak dipublikasikan.
Soetjipta.1993. Dasar-dasar Ekologi hewan. Fakultas Biologi. Univerisitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Sofyan, Sashadi.
2010. fisika.ub.ac.id/bss-ub/PDF%20FILES/BSS_322_1.pdf.
Diakses tanggal 19 Nopember 2012.
Suin, Nurdin Muhammad. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara.
Jakarta.
Wahyudi. 1999. Kerapatan dan Pola Dispersi Populasi Cacing Tanah Pada Ketinggian
Berbeda di Gunung Mandiangin Kabupaten Banjar. Skripsi Sarjana. Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarmasin. Tidak dipublikasikan.
Verma, P.S. 2002. A Manual of Practical Zoology Invertebrates. S. CHAND & Company
LTD. New Delhi.
0 komentar:
Posting Komentar